Minggu, 31 Juli 2011

KESEMPATAN PENDIDIKAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KESEMPATAN KERJA

Oleh : Asikin Hidayat

Pengantar
Kesempatan pendidikan yang semakin meluas, ditambah sekarang dengan isu pendidikan gratis, setidaknya telah mempengaruhi lapangan tenaga kerja. Ini memang tidak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan oleh sebagian besar masyarakat diproyeksikan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Fenomena ini kemudian diikuti dengan perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan yang juga menawarkan kemungkinan kesesuaian ijazah yang didapat dengan pekerjaan yang tersedia.
Namun fenomena di atas itu tidak serta merta dengan mudah dapat diterima, karena eksistensi pendidikan dengan lapangan kerja itu sendiri masih menghadapi kendala yang cukup rumit. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang di dunia, dalam hal pendidikan mencoba mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang sudah mengalami kemajuan. Malaysia dan Korea Selatan adalah dua negara yang kemudian selalu menjadi negara acuan kemajuan pendidikan. Setidaknya ini yang pernah terungkap dalam ceramah perkuliahan Prof. Dr. Nanang Fattah di hadapan mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Galuh Ciamis. Kesejajaran kemajuan itu kiranya sulit diraih karena beberapa aspek mendasar yang kemudian mempengaruhi adopsi tenaga kerja. Aspek-aspek mendasar itu antara lain : 1) tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan 2) tingkat akumulasi modal yang relatif rendah. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, seberapa besar kedua aspek itu berpengaruh terhadap kesempatan pendidikan dan kesempatan kerja?
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan masalah klasik yang sudah lama sekali dihadapi bangsa Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi tingginya pertumbuhan penduduk ini. Salah satu di antaranya adalah dengan menurunkan tingkat pertumbuhan pendudukan dengan cara menekan angka kelahiran. Aktualisasinya berupa program Keluarga Berencana yang dipegang oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di tingkat pusat dan badan-badan atau dinas terkait di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Namun aktualisasi pertumbuhan penduduk juga sebenarnya terkait dengan pendidikan di pihak lain yang dalam praktiknya memberikan transfer informasi mengenai pentingnya membangun keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Mencegah perkawinan usia dini dan menunda masa kelahiran setelah pernikahan misalnya, informasinya sebagian merupakan tanggung jawab pendidikan.
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi memberikan ekses negatif terhadap kehidupan, yakni meningkatnya usia kerja yang menganggur, disebabkan lahan pekerjaan yang tidak tersedia banyak. Ini merupakan masalah pelik yang hingga sekarang sulit dipecahkan. Program penuntasan kemiskinan yang selalu digembar-gemborkan Pemerintah, yang sebagian diaktualisasikan melalui program BLT, akan terus-menerus berbenturan dengan kenyataan meledaknya pengangguran. Belum lagi ditambah dengan tenaga kerja yang terkena PHK karena perusahaan tempatnya bekerja melakukan perampingan struktural atau bahkan mengalami kebangkrutan.
Di lain pihak, masalah rendahnya akumulasi modal terkait dengan kemampuan masyarakat yang tidak bisa lepas dari himpitan kemiskinan dan ketidakmampuan. Hal ini terkait pula dengan pendapatan perkapita rakyat Indonesia yang masih sangat rendah. Kondisi demikian terindikasi dari rendahnya daya menabung masyarakat, dan karenanya tidak mampu meningkatkan investasi. Bagaimanapun, rendahnya daya investasi akan menyebabkan rendahnya kemampuan bangsa secara keseluruhan, termasuk di antaranya kemampuan mensejajarkan diri dalam hal pendidikan dengan negara-negara lain.
Nurimansyah Hasibuan dalam Bulettin Study Indonesia (1991 : 112) menyebutkan, bahwa “akumulasi modal tidak hanya untuk investasi yang mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tetapi juga investasi untuk teknologi dan untuk penurunan tingkat pertumbuhan penduduk”. Untuk itu, perlu dikembangkan investasi penjaminan kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Investasi sumber daya manusia penting untuk kelangsungan proses industrialisasi dalam rangka menjaga konsistensi ekonomi agar tetap ada pada jalur yang sehat. Jika pun terjadi krisis ekonomi atau krisis moneter, semuanya akan dapat diantisipasi dengan kesiapan kualitas SDM yang mapan.

Tantangan Perubahan
Investasi SDM akan tersedia dengan kuantitas yang seimbang dengan kualitas jika ditempuh dengan program penyelenggaraan pendidikan yang berkesinambungan. Artinya ada link yang sepadan antara kebutuhan SDM berkualitas dengan program pendidikan yang terselenggara. Sehingga, pandangan tentang pentingnya SDM sepadan dengan pandangan kepentingan ekonomi. Fenomena SDM dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai fenomena budaya, namun kesemuanya menjadi satu pemikiran yang utuh.
Dalam berita yang dilansir Kompas edisi 16 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Pidato Kenegaraan mengenai nota keuangan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia telah berhasil menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen selama 7 triwulan berturut-turut. Bahkan, pada semester I tahun 2008 pemerintah menyatakan berhasil menjaga momentum perekonomian dengan tingkat pertumbuhan mencapai 6,4 persen. Angka ini diklaim sebagai laju pertumbuhan tertinggi setelah krisis ekonomi tahun 1998 yang lalu. Jika klaim yang dikemukakan pemerintah ini benar, maka sudah suharusnya diimbangi dengan kualitas tenaga kerja yang tinggi. Jika tidak, maka harus ada masalah yang dipertanyakan karenanya. Setidaknya harus ditemukan faktor kesenjangan yang menjadi penyebabnya.
Secara teoretis, perencanaan tenaga kerja dihadapkan dengan perkiraan-perkiraan keseimbangan antara pertumbuhan penduduk yang ingin memasuki sekolah dengan kesempatan kerja yang tersedia. Selain dari itu, dihadapkan pula pada perkiraan keseimbangan antara jenis pendidikan dengan jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan yang mungkin dicapai.
Setiap perencana tenaga kerja mengharapkan keseimbangan tadi, tetapi pada kenyataannya menghadapi kesulitan yang cukup berarti. Justru yang muncul adalah ketidakseimbangan, antara lain animo penduduk menyekolahkan anak-anaknya lebih besar dari pada daya tampung yang tersedia, sehingga tamatan pendidikan yang memasuki lapangan kerja lebih besar dari pada lapangan kerjanya sendiri. Jika situasinya sudah terdesak pada bagian seperti ini, maka yang kita tunggu adalah kesimpangsiuran dalam segala hal. Beberapa orang memanfaatkan situasi ini untuk memainkan peran ketidakjujuran, mengorbankan harga diri, demi mencapai sebuah kedudukan. Ekses-ekses negatif ini muncul seiring dengan makin bertambahnya tingkat pengangguran.
Fenomena demikian telah menuntut adanya perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan kini harus diposisikan sebagai suatu industri, artinya kegiatan pendidikan dapat menghasilkan sejenis jasa produktif. Di tingkat pendidikan menengah, upaya-upaya produktivitas ditunjukkan dengan program pendidikan yang mengarah ke jasa produksi. Misalnya di SMK Teknologi Informatika, dikembangkan keterampilan penyedia jasa informasi komputer dan internet, menerima layanan wartel atau warnet, menerima layanan video-shooting sekaligus pengolahannya, yang kesemuanya ditawarkan kepada masyarakat pengguna jasa. Pada titik ini, dapat dilihat bahwa pendidikan tidak hanya berperan memberikan pembelajaran, akan tetap juga sebagai penyedia nilai tambah, menampung kesempatan kerja, dan sekaligus mampu mendatangkan devisa.
Pendidikan sebagai agen jasa produksi – dengan tidak menyalahartikan fungsi pendidikan itu sendiri –, menjadi hal yang menarik. Ada gambaran bahwa para praktisi pendidikan berhasil mengembangkan inovasi yang merambah bukan saja ke masalah intern pembelajaran, tetapi lebih ke arah bagaimana pendidikan menghasilkan suatu produk yang bernilai ekonomis.
Contoh di atas setidaknya menjadi ilustrasi mengenai urgensi pendidikan bagi kelangsungan hidup, dan sekaligus sebagai tolok ukur kepercayaan masyarakat dan stakeholders terhadap pendidikan. Dalam hal ini kita dapat mengukur nilai ekonomi pendidikan, baik bagi kepentingan masyarakat secara umum, maupun bagi kepentingan individu itu sendiri. Dengan demikian, penyedia lapangan kerja tidak ragu menyediakan lahan kerja bagi SDM yang berkualitas berdasarkan pendidikan yang ditempuhnya.

Alokasi Tenaga Kerja
Tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) dan berpotensi dalam memproduksi barang dan jasa. Batasan itu kemudian menjadi indikator bagi lembaga perencana ketenagakerjaan baik di tingkat nasional maupun daerah, sekaligus untuk mengetahui berapa banyak usia kerja yang berpotensi memproduksi barang dan jasa.
Penghitungan jumlah tenaga kerja dapat dilakukan dengan menjumlahkan seluruh penduduk usia kerja dalam suatu negara. Sedangkan persentase tenaga kerja dalam satu negara dapat dihitung dengan membandingkan antara jumlah penduduk usia kerja dengan total jumlah penduduk. Semakin besar jumlah tenaga kerja, maka semakin besar jumlah penawaran tenaga kerja. Jika tidak diimbangi dengan penawaran dengan kuantitas yang cukup, maka akan terjadi pengangguran.
Ketersediaan tenaga kerja yang ada bisa ditawarkan kepada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja, seperti sektor pertambangan, keuangan, dan sektor konstruksi. Beberapa Perguruan Tinggi membuka fakultas dan jurusan yang sesuai dengan kebutuhan daya serap sektor-sektor ini, bahkan pengadaannya sudah dimulai dari tingkah sekolah menengah. Sekitar tahun 1970-an, sektor-sektor ini menjadi ajang penawaran yang menarik bagi alokasi tenaga kerja.
Berikut adalah tabel di mana sektor-sektor pekerjaan di Indonesia menunjukkan persentase peminatnya masing-masing.
Lapangan Usaha Penduduk %
Pertanian 2,95
Pertambangan dan Penggalian 0,18
Industri Pengolahan 1,56
Listrik dan Air Minum 0,30
Bangunan/Konstruksi 1,17
Perdagangan, Hotel dan Restoran 30,60
Pengangkutan dan Komunikasi 1,55
Keuangan, Persewaan dan Jasa-Jasa Perusahaan 2,46
Jasa-Jasa ( Pemerintah dan Swasta ) 59,23
Jumlah 100
Sumber : Web Delivery
Persentase yang terungkap pada pada tabel di atas menunjukkan pangsa pasar yang ditawarkan, bahwa setiap sektor membutuhkan tenaga kerja dengan jumlah yang berbeda satu sama lain. Ini sama sekali belum mengindikasikan minat tenaga kerja pada sektor tertentu. Bahkan mungkin persentase yang ditunjukkan itu tidak didasarkan atas kebutuhan tenaga kerja, namun justru karena lahan pekerjaannya yang terbatas.
Pada sektor perdagangan, seperti juga pada sektor pertanian, dan jasa-jaa lainnya, sebagian tenaga kerja terserap ke dalam kegiatan informal, baik sebagai keluarga maupun berdiri sendiri. Artinya mereka mendirikan usaha dengan modal sendiri. Ini merupakan alternatif ketika sektor formal, seperti perbankan misalnya, peluangnya semakin kecil. Jika peluang semakin kecil, maka persaingan relatif lebih berat. Pada tabel di atas bisa dikaji, sektor mana saja yang menyiratkan ketatnya persaingan.
Tenaga kerja informal, selain yang membangun usaha sendiri, seperti dagang, pertanian, dan sebagainya, adalah tenaga kerja keluarga yang bekerja sendiri atau membantu keluarga. Tenaga kerja pembantu rumah tangga makin meningkat dari tahun ke tahun, dan pada umumnya mereka adalah orang-orang yang kurang terampil.
Bagaimanapun bentuknya, pekerjaan yang dilaksanakan pada intinya adalah untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, pribadi maupun keluarga. Kompensasi yang diterima dari sektor pekerjaan formal adalah kompensasi uang, namun banyak tenaga kerja keluarga yang menerima kompensasi non-uang.
Jangan lupa, bahwa di sekitar kita terdapat sejumlah pengangguran. Mereka adalah tenaga kerja yang tidak beruntung mendapat pekerjaan pada sektor manapun. Di antaranya merupakan korban PHK dari salah satu sektor yang sebelumnya menampung dirinya menjadi karyawan. Sebagian lainnya merupakan lulusan lembaga pendidikan yang tidak sesuai dengan lahan pekerjaan yang ada. Atau, sebagian merupakan tenaga kerja potensial namun tidak ada permintaan dari sektor manapun.

Penutup
Dari uraian di atas, tampak dengan jelas masalah besar yang dihadapi bangsa dan negara. Kesempatan kerja belum dapat mengimbangi lulusan lembaga pendidikan, dan terlihat kecenderungan pengangguran dengan pendidikan yang lebih tinggi meningkat. Masalah pengangguran terbuka dan pengangguran tertutup cenderung meningkat. Hal ini akan mempunyai implikasi yang perlu diantisipasi dan diatasi secara bersama, baik oleh pemerintah, swasta dan seluruh anggota masyarakat.
Perencanaan SDM harus lebih mengarah ke upaya antisipasi keseimbangan antara tenaga kerja dan lahan pekerjaan. Dalam hal ini, sektor-sektor swasta perlu mendapat prioritas untuk dapat menampung tenaga kerja. Artinya, perlu dilakukan pendidikan dan latihan untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil membuka usaha informal.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Keterampilan akan eksis sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi individu manakala individu itu mampu mengoptimalkan potensinya melalui kepribadian dan kecerdasan yang dimilikinya. Hidup bukan hanya sekedar menerima dan menjalani nasib, akan tetapi bagaimana kita menyikapi dan mengendalikan nasib.
Akhirnya, komitmen menjadi semacam ultimatum untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita mahamulia ini.
Semoga!

Daftar Rujukan
Blaug, B. 1973, Education and Employment Problem in Developing Countries, International Labour Office.

Foster, R.P. 1988. “Work Force Diversity and Business”. Training and Development Journal. April: 39.

H.A. Yunus (2009) Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Majalengka : UNIGAL.

Nunung Sanuhri & Tubagus Hisni (1999) Manajemen Sumber Daya Manusia. Yakarta : Program Pasca Sarjana sekolah Tinggi Manajemen “Imni”.

Simamora, H. 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi I. Yogyakarta.

Sjafri Mangkuprawira dan Aida Vitayala Hubeis (2007) Manajemen Mutu SDM, Jakarta : PT Ghalia Indonesia.
Undang-undang republik indonesia nomor 43 tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 8 tahun 1974 Tentang pokok-pokok kepegawaian.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More