Jumat, 23 Desember 2011

Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan Mutu Pembelajaran

Diadop dari tulisan : Waras Khamdi
Abstract: The aim of this paper is to highlight some of attempts at integrating Project-Based Learning approach into the practice of teaching and learning in engineering and vocational education. There are at least five criteria to capture the uniqueness of Project-Based Learning, in attempting to describe the difference between Project-Based Learning and prior models that involved projects. The five criteria are centrality, driving question or problem, constructive investigations, autonomy, and realism. Benefits attributed to Project-Based Learning include: increased motivation, problem-solving ability, decision-making skills, collaboration, and resource-management skills.
Kata kunci: belajar berbasis proyek, otentik, konstruktivistik, kontekstual, kolaboratif
Dalam konteks peradaban makro, sekarang umat manusia sedang memasuki Abad Pengetahuan dan perlahan meninggalkan Abad Industrial. Atas dasar analisisnya terhadap empat program pendidikan yang berhasil mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan pada Abad Pengetahuan, Trilling dan Hood (1999) membuat daftar perbandingan karakteristik umum model pembelajaran Abad Pengetahuan yang dijelang umat manusia dan Abad Industrial yang telah ditinggalkan umat manusia (Tabel 1). Perbandingan ini merefleksikan pandangan filosofis tentang teknologi (pendidikan), terutama antara pandangan moderen dan pandangan transformatif.
Tabel 1. Pembelajaran Abad Pengetahuan versus Abad Industrial
ABAD INDUSTRIAL ABAD PENGETAHUAN
Teacher-as-Director Teacher-as-Facilitator, Guide, Consultant
Teacher-as-Knowledge Source Teacher-as-Co-learner
Curriculum-directed Learning Student-directed Learning
Time-slotted, Rigidly Scheduled Learning Open, Flexible, On-demand Learning
Primarily Fact-based Primarily Project-& Problem-based
Theoretical, Abstract Real-world, concrete
Principles & Survey Actions & Reflections
Drill & Practice Inquiry & Design
Rules & Procedures Discovery & Invention
Competitive Collaborative
Classroom-focused Community-focused
Prescribed Results Open-ended Results
Conform to Norm Creative Diversity
Computers-as-Subject of Study Computers-as-Tool for all Learning
Static Media Presentations Dynamic Multimedia Interactions
Classroom-bounded Communication Worldwide-unbounded Communication
Test-assessed by Norms Performance-assessed by Expert, Mentors, Peers & Self
Berdasarkan Tabel 1 tersebut setidak-tidaknya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama, terlihat jelas bahwa pergeseran paradigma pembelajaran telah terjadi dalam praktik kependidikan. Banyak praktik pendidikan yang dianggap mengutungkan pada abad industrial, seperti belajar fakta, tubian (drill) dan praktik, hukum dan prosedur digantikan belajar dalam konteks dunia nyata, otentik melalui problem dan proyek, inkuiri, penemuan, dan invensi dalam praktik abad pengetahuan. Kedua, kita akan membayangkan betapa sulitnya mencapai perubahan yang sistematik ketika di lingkungan pendidikan kita masih teramat kental dengan kebiasaan praktik pendidikan di abad industrial, seperti belajar masih dikonsepsikan sebagai penyerapan fakta, belajar efektif dilakukan dengan drill, dst. Ketiga, semakin jelas bahwa teknologi komunikasi dan informasi adalah katalis penting untuk gerakan kita menuju metode belajar di Abad Pengetahuan. Keempat, paradigma baru dalam belajar ini menggelar tantangan yang luar biasa besar dan peluang untuk pengembangan professional, baik preservice maupun inservice, bagi guru-guru kita. Dalam banyak hal, redifinisi profesi pengajaran/pembelajaran dan peranan guru memainkan peranan penting dalam proses belajar.
Kini, para peneliti pembelajaran berargumen tentang lingkungan belajar dalam konteks yang kaya (rich environment). Pengetahuan dan keterampilan yang kokoh dan bermakna-guna (meaningful-use) dapat dikonstruk melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (CORD, 2001, Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000, ED, 1995; Marzano, 1992). Keotentikan kegiatan kurikuler terdukung oleh proses kegiatan perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu. Pebelajar dapat didorong dalam proses membangun pengetahuan melalui pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.
Kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual activity-based learning, dan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang memberikan penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu usaha kolaboratif (Richmond & Striley, 1996), yang dilakukan dalam proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong, 2000). Blumenfeld et.al. (1991) mendiskripsikan model belajar berbasis proyek (project-based learning) berpusat pada proses relatif berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit pembelajaran bermakna dengan mengitegrasikan konsep-konsep dari sejumlah komponen pengetahuan, atau disiplin, atau lapangan studi.
Ketika siswa bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh siswa ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat penting di tempat kerja kelak. Karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara siswa. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
MENGAPA PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK?
Herchbach (1999) menegaskan, sekurang-kurangnya terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi agar pendidikan teknologi terus memainkan peran pendidikan yang signifikan di abad akan datang. Pertama, dan paling penting, pendidikan teknologi harus berfokus pada bagaimana yang terbaik dapat melayani pebelajar. Sedikit waktu harus disisihkan untuk memikirkan tentang teknologi itu sendiri, dan lebih memperhatikan harapan atau kebutuhan orangtua dan pebelajar dari lapangan dan bagaimana kita dapat menerjemahkan harapan ini ke dalam program pendidikan teknologi yang konkret dan dekat dengan kehidupan mereka.
Kedua, lingkungan juga harus memberi peluang pendidikan yang terbaik. Pendidikan teknologi yang terbaik dapat disusun secara interdisipliner, lingkungan belajar berbasis aktivitas yang memberi peluang pebelajar menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dan teknologis. Kata-kata interdisipliner dan aktivitas perlu ditekankan. Barangkali di dalam lapangan atau subject matter yang lain tidak menjadi tekanan, akan tetapi dalam pendidikan teknologi, interdisipliner dan berbasis aktivitas itu memberi peluang bagi pebelajar untuk mengintegrasikan pengetahuan dari lapangan studi lain yang berhubungan. Hal ini juga berarti menempatkan kegiatan belajar pebelajar di dalam konteks dunia nyata.
Ketiga, penting membangun dukungan di dalam komunitas kependidikan yang lebih besar tentang pentingnya pendidikan teknologi sebagai bagian bangunan kependidikan. Pendidikan teknologi adalah komponen integral yang penting di dalam dunia kependidikan secara menyeluruh.
Oleh karena itu, Householder (1999) menegaskan pendidikan teknologi harus: (1) memperluas landasan intelektual yang melatarbelakangi desain, manufaktur, konstruksi, komunikasi, transportasi, engineering, dan arsitektur yang memenuhi ruang teknik-teknik pengendalian alam dan dunia buatan manusia; (2) menjelaskan secara detail praktik dan body of technological knowledge agar mudah dikenali dan sebagai basis sumber perencanaan pembelajaran; (3) menyusun strategi pengembangan kurikulum yang komprehensif dan unik mengintegrasikan praktik dan pengetahuan dengan pemahaman kontemporer cara-cara pebelajar memperoleh pengetahuan dan keterampilan; (4) mengekplorasi perbedaan individual dan kelompok, sehingga program yang tepat mungkin didesain secara integral dengan kerangka kultural dan individual mereka; dan (5) mengkaji kontribusi studi di bidang teknologi di dalam dan di atas masyarakat kontemporer dengan visi yang jelas dan kritis untuk mencapai kualitas hidup generasi masadepan.
Berdasarkan penekanan-penekanan Herchbach, dan Householder di atas, maka prospek masa depan pendidikan teknologi ini memunculkan orientasi yang makin kuat pada banyaknya tujuan pendidikan berfokus pada pengembangan untuk hidup orang dewasa khususnya penyiapan salah satu aktivitas universisal orang dewasa, yaitu kerja. Kerja, baik digaji maupun tidak digaji, terjadi di tempat kerja, rumah, dan masyarakat umum. Banyak kurikulum sekolah didesain untuk menyiapkan orang-orang muda untuk bekerja, dan seringkali dengan justifikasi subject matter ekonomi.
Di sisi lain, sekarang mulai banyak tempat kerja yang memberlakukan pekerja temporer atau pekerja kontrak, dan akan lebih banyak pengalaman berhenti dari pekerjaan yang satu dan ganti pekerjaan lain sebagai bagian dari karier pekerja. Majikan tidak lagi diikat dengan tuntutan peningkatan karier pekerja, dan tidak akan menanggung jaminan hari tua, pensiun, dan tunjangan kesehatan (Bjorkquist, 1999). Hal ini menggambarkan mobilitas pasar kerja yang makin tinggi. Kemampuan diskoveri, eksplorasi, dan pengembangan kecerdasan menjadi realistis di dalam kelas di mana teknologi berbasis mesin dan peralatan diajarkan. Banyak pelajaran teknologi akan penting secara ekonomik dan memperluas kepiawaian individu dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Berbasis Proyek dipandang tepat sebagai satu model untuk pendidikan teknologi untuk merespon isu-isu peningkatan kualitas pendidikan teknologi dan perubahan-perubahan besar yang terjadi di dunia kerja. Project-Based Learning adalah model pembelajaran yang berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa bernilai, dan realistik (BIE, 2001). Berbeda dengan model-model pembelajaran tradisional yang umumnya bercirikan praktik kelas yang berdurasi pendek, terisolasi/lepas-lepas, dan aktivitas pembelajaran berpusat pada guru; model Project-Based Learning menekankan kegiatan belajar yang relatif berdurasi panjang, holistik-interdisipliner, perpusat pada siswa, dan terintegrasi dengan praktik dan isu-isu dunia nyata.
ADAPTASI MODEL PROBLEM-BASED LEARNING DALAM PENDIDIKAN MEDIS
Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) ini merupakan adaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller, 1999). Setelah melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis dididik, pendidikan medis mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan. Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning. Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan medis di negara-negara maju.
Karakteristik permasalahan pada pendidikan medis tersebut mirip dengan permasalahan pada pendidikan teknologi dan kejuruan. Tamatan pendidikan teknologi (dan kejuruan) belum siap memasuki lapangan kerja atau bahkan gagal di tempat kerja, meskipun pengetahuan faktual telah cukup diperoleh di sekolah. Berdasarkan pengalaman pada pendidikan medis, pendekatan problem-based learning diadaptasi menjadi model project-based learning untuk pendidikan teknologi dan kejuruan, terutama program kompetensi produktif. Keduanya menekankan lingkungan belajar siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik (authentic assessment). Perbedaannya terletak pada perbedaan objek. Kalau dalam problem-based learning pebelajar lebih didorong dalam kegiatan yang memerlukan perumusan masalah, pengumpulan data, dan analisis data (berhubungan dengan proses diagnosis pasien); maka dalam project-based learning pebelajar lebih didorong pada kegiatan desain: merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil. Seperti didefinisikan oleh Buck Institute fo Education (1999), bahwa belajar berbasis proyek memiliki karakteristik: (a) pebelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk mencapai hasil, (d) pebelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f) pebelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Kebalikan dari pendekatan tradisional yang umumnya bercirikan apprenticeship, ciri khas strategi Pembelajaran Berbasis Proyek bersifat kolaboratif (Hung & Chen, 2000; Hung & Wong, 2000). Kegiatan pembelajaran seperti tersebut mendukung proses konstruksi pengetahuan dan pengembangan kompetensi produktif pebelajar yang secara aktual muncul dalam bentuk-bentuk keterampilan okupasional/teknikal (technical skills), dan keterampilan emploiabiliti sebagai pekerja yang baik (employability skills). Kegiatan ini berbasis pada konteks kehidupan sehari-hari pebelajar, baik fisik maupun sosial.
DUKUNGAN TEORETIS PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Secara teoretik dan konseptual, pendekatan belajar berbasis proyek ini juga didukung oleh teori aktivitas (Hung dan Wong, 2000; Activity Theory, [Online]) yang menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri atas: (a) tujuan yang ingin dicapai dengan (b) subjek yang berada di dalam konteks (c) suatu masyarakat di mana pekerjaan itu dilakukan dengan perantaraan (d) alat-alat, (e) peraturan kerja, dan (f) pembagian tugas (periksa, Gambar 1). Dalam penerapannya di kelas bertumpu pada kegiatan belajar yang lebih menekankan pada kegiatan aktif dalam bentuk melakukan sesuatu (doing) daripada kegiatan pasif “menerima” transfer pengetahuan dari pengajar.
Alat
Subjek Objek Hasil
Aturan Masyarakat Pembagian Tugas
Gambar 1. Proses dalam Teori Aktivitas
Pendekatan pembelajaran berbasis proyek juga didukung teori belajar konstruktivistik. Konstruktivisme adalah teori belajar yang mendapat dukungan luas yang bersandar pada ide bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri di dalam konteks pengalamannya sendiri (Murphy, 1997, [Online]). Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong siswa mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan secara personal. Tatkala pendekatan proyek ini dilakukan dalam modus belajar kolaboratif dalam kelompok kecil siswa, pendekatan ini juga mendapat dukungan teoretik yang bersumber dari konstruktivisme sosial Vygotsky yang memberikan landasan pengembangan kognitif melalui peningkatan intensitas interaksi antarpersonal (Vygotsky, 1978; Davydov, 1995, Moore, 1999). Adanya peluang untuk menyampaikan ide, mendengarkan ide-ide orang lain, dan merefleksikan ide sendiri pada ide-ide orang lain, adalah suatu bentuk pengalaman pemberdayaan individu. Proses interaktif dengan kawan sejawat itu membantu proses konstruksi pengetahuan (meaning-making process). Dalam pandangan ini transaksi sosial memainkan peranan sangat penting dalam pembentukan kognisi (Richmond & Striley, 1996). Proses negosiasi kognitif interpersonal sebagai bentuk dari pengajuan gagasan, debat, dan menerima atau menolak selama proses interaksi dengan kawan sejawat memungkinkan perluasan dan penghalusan pengetahuan dan keterampilan. Dari perspektif teoretik ini, pendekatan belajar berbasis proyek ini memberikan alternatif lingkungan belajar otentik di mana pembelajar dapat membantu memudahkan siswa meningkatkan keterampilan mereka di dalam bekerja dan pemecahan masalah secara kolaboratif. Sebagai pendekatan pembelajaran baru, Pembelajaran Berbasis Proyek potensial berhasil memperbaiki praktik pembelajaran pada pendidikan teknologi (dan kejuruan).
Pendekatan belajar berbasis proyek (project-based learning) memiliki potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi pebelajar dewasa untuk memasuki lapangan kerja. Menurut pengalaman Gaer (1998), di dalam project-based learning yang diterapkan untuk mengembangkan kompetensi para pekerja perusahaan, peserta pelatihan menjadi lebih aktif di dalam belajar mereka, dan banyak keterampilan tempatkerja yang berhasil dibangun dari proyek di dalam kelasnya, seperti keterampilan membangun tim, membuat keputusan kooperatif, pemecahan masalah kelompok, dan pengelolaan tim. Keterampilan-keterampilan tersebut besar nilainya di tempat kerja dan merupakan keterampilan yang sukar diajarkan melalui pembelajaran tradisional. Hasil penelitian Departemen Pendidikan Amerika Serikat (ED) menunjukkan hal yang sama. Hasil kajian lintas daerah yang dilakukannya menunjukkan bahwa tugas-tugas yang dijalankan dalam bentuk kegiatan yang menantang dan mengesankan pada diri pebelajar memiliki pengaruh positif terhadap motivasi, pemahaman, dan unjuk kerja pebelajar (ED, 1995). Potensi keefektifan belajar berbasis proyek ini juga didukung oleh temuan-temuan penelitian belajar kolaboratif yang terbukti dapat meningkatkan pencapaian prestasi akademik, berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis yang lebih baik, kemampuan memandang situasi dari perspektif lain yang lebih baik, pemahaman yang mendalam terhadap bahan belajar, lebih bersikap positif terhadap bidang studi, hubungan yang lebih positif dan suportif dengan kawan sejawat, dan meningkatkan motivasi belajar (Thomas, 2000; Johnson, Johnson, & Stanne, 2000; Kaufman, Felder & Fuller, 2000; Haller, Gallagher, Weldon, & Felder, 2000; Shia, Howard & McGee, 1998; Felder & Brent, 1996).
KONSEP DAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD, 2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss, Van-Duzer, Carol, 1998). Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000).
Biasanya memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi — tidak sekedar merupakan rangkaian pertemuan kelas— serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner. Misalnya, suatu proyek merancang draft untuk bangunan struktur (konstruksi bangunan tertentu) melibatkan pebelajar dalam kegiatan investigasi pengaruh lingkungan, pembuatan dokumen proses pembangunan, dan mengembangkan lembar kerja, yang akan meliputi penggunaan konsep dan keterampilan yang digambarkan dari matakuliah matematika, drafting dan/atau desain, lingkungan dan kesehatan kerja, dan mungkin perdagangan bahan dan bangunan. Menurut Alamaki (1999, Online), proyek selain dilakukan secara kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik, dan berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar atau kebutuhan masyarakat atau industri lokal.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk pebelajar usia dewasa, seperti siswa, apakah mereka sedang belajar di perguruan tinggi maupun pelatihan transisional untuk memasuki lapangan kerja (Gaer, 1998). Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, pebelajar menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka, instruktur berposisi di belakang dan pebelajar berinisiatif, instruktur memberi kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat pebelajar selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami pikiran pebelajar.
Proyek pebelajar dapat disiapkan dalam kolaborasi dengan instruktur tunggal atau instruktur ganda, sedangkan pebelajar belajar di dalam kelompok kolaboratif antara 4—5 orang. Ketika pebelajar bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh pebelajar ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat penting di tempat kerja. Karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara pebelajar. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
Oakey (1998) mempertegas konsep dan karakteristik project-based learning dengan membedakannya dengan problem based learning yang seringkali saling dipertukarkan dalam penggunaan istilah ini. Istilah project-based learning dan problem-based larning masing-masing digunakan untuk menyatakan strategi pembelajaran. Kemiripan konsep kedua pendekatan pembelajaran itu, dan penggunaan singkatan yang sama, PBL, menghasilkan kerancuan di dalam leteratur dan penelitian (lihat juga Thomas, 2000), meskipun sebenarnya di antara keduanya berbeda.
Project-based learning dan problem-based learning memiliki beberapa kesamaan karakteristik. Keduanya adalah strategi pembelajaran yang dimaksudkan untuk melibatkan pebelajar di dalam tugas-tugas otentik dan dunia nyata agar dapat memperluas belajar mereka. Pebelajar diberi tugas proyek atau problem yang open-ended dengan lebih dari satu pendekatan atau jawaban, yang mensimulasikan situasi profesional. Kedua pendekatan ini juga didefinisikan sebagai student-centered, dan menempatkan peranan guru sebagai fasilitator. Pebelajar dilibatkan dalam project- atau problem- based learning yang secara umum bekerja di dalam kelompok secara kolaboratif, dan didorong mencari berbagai sumber informasi yang berhubungan dengan proyek atau problem yang dikerjakan. Pendekatan ini menekankan pengukuran hasil belajar otentik dan dengan basis unjuk kerja (performance-based assessment).
Meskipun banyak kemiripan, project- dan problem-based learning bukan pendekatan yang identik. Project-based learning secara khusus dimulai dengan produk akhir atau “artifact”di dalam pikiran, produksi tentang sesuatu yang memerlukan keterampilan atau pengetahuan isi tertentu yang secara khusus mengajukan satu atau lebih problem yang harus dipecahkan oleh pebelajar. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek menggunakan model produksi: Pertama, pebelajar menetapkan tujuan untuk pembuatan produk akhir dan mengidentifikasi audien mereka. Mereka mengkaji topik mereka, mendesain produk, dan membuat perencanaan manajemen proyek. Pebelajar kemudian memulai proyek, memecahkan masalah dan isu-isu yang timbul dalam produksi, dan menyelesaikan produk mereka. Pebelajar mungkin menggunakan atau menyajikan produk yang mereka buat, dan idealnya mereka diberi waktu untuk mengevaluasi hasil kerja mereka (Moursund, Bielefeldt, & Underwood, 1997; Oakey, 1998). Proses belajarnya berlangsung otentik, mencerminkan kegiatan produksi dunia nyata, dan konstruktivistik, menggunakan pendekatan dan ide-ide pebelajar untuk menyelesaikan tugas yang mereka tangani.
Tidak semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut Pembelajaran Berbasis Proyek. Berangkat dari pertanyaan “apa yang harus dimiliki proyek agar dapat digolongkan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek,” dan keunikan Pembelajaran Berbasis Proyek yang ditemukan dari sejumlah leteratur dan hasil penelitian, Thomas (2000) menetapkan lima kriteria apakah suatu pembelajaran berproyek termasuk sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Lima kriteria itu adalah keterpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah, investigasi konstruktif atau desain, otonomi pebelajar, dan realisme.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pebelajar mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek. Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktik tambahan, atau aplikasi praktik yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi, menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Kegiatan proyek yang dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak termasuk Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang mendorong pebelajar menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Difinisi proyek (bagi pebelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengejar pebelajar, sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et al., 1991).
Proyek melibatkan pebelajar dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin berupa proses desain, pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, diskoveri, atau proses pembangunan model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria Pembelajaran Berbasis Proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan pengertian: pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak pebelajar (Bereiter & Scardamalia, 1999). Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek Pembelajaran Berbasis Proyek yang dimaksud. Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek mendorong pebelajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh Pembelajaran Berbasis Proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan inti pada kurikulum. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek tidak berakhir pada hasil yang telah ditetapkan sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya. Proyek Pembelajaran Berbasis Proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak bersifat rigid, dan tanggung jawab pebelajar daripada proyek trandisional dan pembelajaran tradisoonal.
Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontentikan pada pebelajar. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan pebelajar, konteks dimana kerja proyek dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan pebelajar dalam proyek, produk yang dihasilkan, audien bagi produk-produk proyek, atau kriteria di mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran Berbasis Proyek melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya.
Pembelajaran berbasis proyek bisa menjadi bersifat revolusioner di dalam isu pembaruan pembelajaran. Proyek dapat mengubah hakikat hubungan antara guru dan pebelajar. Proyek dapat mereduksi kompetisi di dalam kelas dan mengarahkan pebelajar lebih kolaboratif daripada kerja sendiri-sendiri. Proyek juga dapat menggeser fokus pembelajaran dari mengingat fakta ke eksplorasi ide. Beberapa aspek yang membedakan pembelajaran Berbasis Proyek dengan pembelajaran tradisional dideskripsikan oleh Thomas, Mergendoller, & Michaelson (1999) sebagaimana dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Perbedaan Pembelajaran Berbasis Proyek dan Pembelajaran Tradisional
ASPEK PENDIDIKAN PENEKANAN TRADISIONAL PENEKANAN BERBASIS PROYEK
Fokus kurikulum Cakupan isi Kedalaan pemahaman
Pengetahuan tentang fakta-fakta Penguasaan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
Belajar keterampilan “building-block” dalam isolasi Pengembangan keterampilan pemecahan masalah kompleks
Lingkup dan Urutan Mengikuti urutan kurikulum secara ketat Mengikuti minat pebelajar
Berjalan dari blok ke blok atau unit ke unit Unit-unit besar terbentuk dari problem Dan isu yang kompleks
Memusat, fokus berbasis disiplin Meluas, fokus interdisipliner
Peranan guru Penceramah dan direktur pembelajaran Penyedia sumber belajar dan partisipan di dalam kegiatan belajar
Ahli Pembimbing/partner
Fokus pengukuran Produk Proses dan produk
Skor tes Pencapaian yang nyata
Membandingkan dengan yang lain Unjuk kerja standard dan kemajuan dari waktu ke waktu
Reproduksi informasi Demonstrasi pemahaman
Bahan-bahan Pembelajaran Teks, ceramah, Dan presentasi Langsung sumber-sumber asli: bahan-bahan tersectak, interviu, dokumen, dll.
Kegiatan dan lembar latihan dikembangkan guru Data dan bahan dikembangkan oleh pebelajar
Penggunaan teknologi Penyokong, periferal Utama, integral
Dijalankan guru Diarahkan pebelajar
Kegunaan untuk perluasan presentasi guru Kegunaan untuk memperluas presentasi pebelajar atau penguatan kemampuan pebelajar
Konteks kelas Pebelajar bekerja sendiri Pebelajar bekerja dalam kelompok
Pebelajar kompetisi satu dengan lainnya Pebelajar kolaboratif satu dengan lainnya
Pebelajar menerima informasi dari guru Pebelajar mengkonstruksi, berkontribusi, dan melakukan sintesis informasi
Peranan pebelajar Menjalankan perintah guru Melakukan kegiatan belajar yang diarahkan oleh diri sendiri
Pengingat dan pengulang fakta Pengkaji, integrator, dan penyaji ide
Pembelajar menerima dan menyelesaikan tugas-tugas laporan pendek Pebelajar menentukan tugas mereka sendiri Dan bekerja secara independen dalam waktu yang besar
Tujuan jangka pendek Pengetahuan tentang fakta, istilah, dan isi Pemahaman dan aplikasi ide dan proses yang kompleks
Tujuan jangka panjang Luas pengetahuan Dalam pengetahuan
Lulusan yang memiliki pengetahuan yang berhasil pada tes standard pencapaian belajar Lulusan yang berwatak dan terampil mengembangkan diri, mandiri, dan belajar sepanjang hanyat.
KEUNTUNGAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Moursund, Bielefeldt, & Underwood (1997) meneliti sejumlah artikel tentang proyek di kelas yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan testimonial terhadap guru, terutama bagaimana guru menggunakan proyek dan persepsi mereka tentang bagaimana keberhasilannya. Atribut keuntungan dari Belajar Berbasis Proyek adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi. Laporan-laporan tertulis tentang proyek itu banyak yang mengatakan bahwa siswa suka tekun sampai kelewat batas waktu, berusaha keras dalam mencapai proyek. Guru juga melaporkan pengembangan dalam kehadiran dan berkurangnya keterlambatan. Siswa melaporkan bahwa belajar dalam proyek lebih fun daripada komponen kurikulum yang lain.
2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
3. Meningkatkan kolaborasi. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi ( Johnson & Johnson, 1989). Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi online adalah aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori kognitif yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif (Vygotsky, 1978; Davidov, 1995).
4. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber. Bagian dari menjadi siswa yang independen adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks. Pembelajaran Berbais Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
SIMPULAN
Memperhatikan karaktristik Pembelajaran Berbasis Proyek, dukungan teoretik, dan reviu testimonial, maka model ini bisa menjadi komponen yang well-established dalam sistem pendidikan kita. Model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah penggerak yang unggul untuk membatu siswa belajar melakukan tugas-tugas otentik dan multidisipliner, mengelola bujet, menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efektif, dan bekerja dengan orang lain. Ada bukti langsung maupun tidak langsung, baik dari guru maupun siswa, bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek menguntungkan dan efektif sebagai metode pembelajaran. Yang lebih penting, ada beberapa bukti bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek, dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain, memiliki nilai tinggi dalam peningkata kualitas belajar siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Alamaki, A. 1999. Current Trends in Technology Education in Finland. The Journal of Technology Studies. Available on: Digital Library and Archives.
Barron, B.J., Schwartz, D.L., Vey, N.J., Moore, A., Petrosino, A., Zech, L., Bransford, J. D., & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt. 1998. Doing with Understnading: Lessons from Research on Problem- and Project-Based Learning. The Journal of the Learning Science, 7, 271—311.
Bereiter, C., & Scardamalia, M. 1999. Process and Product in PBL Research. Toronto: University of Toronto.
Bjorkquist, D. 1999. Learner-Centered Education in Technology. Dalam Technology Education in Prospect: Perceptions, Change, and the Survival of the Profession. The Journal of Technology Studies. Digital Library and Archives.
Blumenfeld, P.C., E. Soloway, R.W. Marx, J.S. Krajcik, M. Guzdial, and A. Palincsar. 1991. Motivating Project-Based Learning: Sustaining the Doing, Supporting the Learning. Educational Psychologist, 26(3&4), 369—398.
Buck Institutute for Education. 1999. Project-Based Learning. http://www.bgsu.edu/organizations/etl/proj.html.
CORD, 2001. Contextual Learning Resource. http://www.cord.org/lev2.cfm/65.
Davydov, V.V. 1995. The Influence of L.S. Vygotsky on Education Theory, Research, and Practice. Educational Researcher, 24(3), 12—21.
ED (U.S. Departmen of Education) 1995. Technology and Education Reform: Technical Research Report, Volume 1: Findings and Conclusions. Capter 1. http:www.ed.gov/pubs/SER/Technology/ch1.html.
Felder , R.M. & Brent, R. 1996. Navigating the Bumpy Road to Student-Centered Instruction. College Teaching, 44, 43—47.
Gaer, S. 1998. What is Project-Based Learning? http://members.aol.com/CulebraMom/pblprt.html.
Haller, C.R., Gallagher, V.J., & Weldon, T.L., Felder, R.M. 2000. Dynamics of Peer Education in Cooperative Learning Workgroups. Journal of Engineering Education, 89(3), 285—293. http://www2.ncsu.edu/unity/lochers/users/f/felder/public/Papers/Hallerpap.pdf.
Herschbach, D.R.1999. Looking Past 2000. Dalam Technology Education in Prospect: Perceptions, Change, and the Survival of the Profession. The Journal of Technology Studies. Digital Library and Archives.
Householder, D.L. 1999. View in Technology Education in Prospect: Perceptions, Change, and the Survival of the Profession. The Journal of Technology Studies. Digital Library and Archives.
Hung, D.W., & Chen, D.T. 2000. Appropriating and Negotiating Knowledge. Educational Technology, 40(3), 29—32.
Hung, D.W., & Wong, A.F.L. 2000. Activity Theory as a Framework fo Project Work in Learning Environments. Educational Technology, 40(2), 33—37.
Johnson, D.W., & Johnson, R.T. 1989. Social Skills for Successful Gorup Work. Educational Leadership, 47(4), 29—33.
Johnson, D.W., Johnson, R.T. & Stanne, 2000. Cooperative Learning Methods: A Meta-Analysis. http://www.clcrc.com/pages/cl-methods.html.
Kaufman, D.B., Felder, R.M. & Fuller, H. 2000. Accounting for Individual Effort in Cooperative Learning Teams. Journal of Engineering Education, 89(2), 133—140. Available on: http://www.ncsu.edu/unity/lochers/users/f/felder/public/RMF.html.
Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of Learning. Verginia: ASCD.
Maxwell, N.L., Bellisimo, Y. & Mergendoller, J. 1999. Problem-Based Learning: Modifying the Medical School Model for Teaching High School Economics. http://www.bie.org/pbl/overview/diffstraditional.html.
Mergendoller, J.R., & Thomas, J.W. 2000. Managing Project Based Learning: Principles from the Field. Novato, CA: Buck Institute for Education.
Moore, D. 1999. Toward a Theory of Work-Based Learning. IEE Brief, 23 (January) [Online].
Moss, D, & Van Duzer, C. 1998. Project-Based Learning for Adult English Language Learners. ERIC Digest, ED427556. http://www.ed.gov/database/ERIC-Digests/ed427556/html.
Moursund, D., Bielefeldt, T., Ricketts, R., & Underwood, S. 1995. Effect Practice: Computer Technology in Education. Eugene, OR: ISTE.
Myers, R.J., & Botti, J.A. 2000. Exploring the Environment: Problem-Based Learning in Action. http: www.cet.edu/research/conference.html.
Oakey, J. 1998. Project-Based and Problem-Based: The Same or Different? http://pblmm.k12.us/PBLGuide/PBL&PBL.html
Richmond, G., & Striley, J. 1996. Making Meaning in Classrooms: Social Processes in Small-Group Discourse and Scientific Knowledge Building. Journal of Research in Science Teaching, 33(8), 839—858.
Rodriguez, H. 1998. Activity Theory and Cognitive Science. http://www.acm.org.
Shia, R.M., Howard, B.C., & McGee, S. 1998. Metacognition, Multiple Intelligence and Cooperative Learning. http://www.cet.edu/research/student.html.
Thomas, J.W. 2000. A Review od Research on Project-Based Learning. California: The Autodesk Foundation. Available on: http://www.autodesk.com/foundation.
Thomas, J.W., Margendoller, J.R., & Michaelson, A. 1999. Project-Based Learning: A. Handbook for Middle and High School Teachers. http://www.bgsu.edu/organizations/ctl/proj.html.
Trilling, B., & Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age, or “We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What?”. Educational Technology, Mey-Juni, 5—18.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Scciety. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Digg

Minggu, 31 Juli 2011

KESEMPATAN PENDIDIKAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KESEMPATAN KERJA

Oleh : Asikin Hidayat

Pengantar
Kesempatan pendidikan yang semakin meluas, ditambah sekarang dengan isu pendidikan gratis, setidaknya telah mempengaruhi lapangan tenaga kerja. Ini memang tidak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan oleh sebagian besar masyarakat diproyeksikan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Fenomena ini kemudian diikuti dengan perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan yang juga menawarkan kemungkinan kesesuaian ijazah yang didapat dengan pekerjaan yang tersedia.
Namun fenomena di atas itu tidak serta merta dengan mudah dapat diterima, karena eksistensi pendidikan dengan lapangan kerja itu sendiri masih menghadapi kendala yang cukup rumit. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang di dunia, dalam hal pendidikan mencoba mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang sudah mengalami kemajuan. Malaysia dan Korea Selatan adalah dua negara yang kemudian selalu menjadi negara acuan kemajuan pendidikan. Setidaknya ini yang pernah terungkap dalam ceramah perkuliahan Prof. Dr. Nanang Fattah di hadapan mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Galuh Ciamis. Kesejajaran kemajuan itu kiranya sulit diraih karena beberapa aspek mendasar yang kemudian mempengaruhi adopsi tenaga kerja. Aspek-aspek mendasar itu antara lain : 1) tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan 2) tingkat akumulasi modal yang relatif rendah. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, seberapa besar kedua aspek itu berpengaruh terhadap kesempatan pendidikan dan kesempatan kerja?
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan masalah klasik yang sudah lama sekali dihadapi bangsa Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi tingginya pertumbuhan penduduk ini. Salah satu di antaranya adalah dengan menurunkan tingkat pertumbuhan pendudukan dengan cara menekan angka kelahiran. Aktualisasinya berupa program Keluarga Berencana yang dipegang oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di tingkat pusat dan badan-badan atau dinas terkait di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Namun aktualisasi pertumbuhan penduduk juga sebenarnya terkait dengan pendidikan di pihak lain yang dalam praktiknya memberikan transfer informasi mengenai pentingnya membangun keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Mencegah perkawinan usia dini dan menunda masa kelahiran setelah pernikahan misalnya, informasinya sebagian merupakan tanggung jawab pendidikan.
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi memberikan ekses negatif terhadap kehidupan, yakni meningkatnya usia kerja yang menganggur, disebabkan lahan pekerjaan yang tidak tersedia banyak. Ini merupakan masalah pelik yang hingga sekarang sulit dipecahkan. Program penuntasan kemiskinan yang selalu digembar-gemborkan Pemerintah, yang sebagian diaktualisasikan melalui program BLT, akan terus-menerus berbenturan dengan kenyataan meledaknya pengangguran. Belum lagi ditambah dengan tenaga kerja yang terkena PHK karena perusahaan tempatnya bekerja melakukan perampingan struktural atau bahkan mengalami kebangkrutan.
Di lain pihak, masalah rendahnya akumulasi modal terkait dengan kemampuan masyarakat yang tidak bisa lepas dari himpitan kemiskinan dan ketidakmampuan. Hal ini terkait pula dengan pendapatan perkapita rakyat Indonesia yang masih sangat rendah. Kondisi demikian terindikasi dari rendahnya daya menabung masyarakat, dan karenanya tidak mampu meningkatkan investasi. Bagaimanapun, rendahnya daya investasi akan menyebabkan rendahnya kemampuan bangsa secara keseluruhan, termasuk di antaranya kemampuan mensejajarkan diri dalam hal pendidikan dengan negara-negara lain.
Nurimansyah Hasibuan dalam Bulettin Study Indonesia (1991 : 112) menyebutkan, bahwa “akumulasi modal tidak hanya untuk investasi yang mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tetapi juga investasi untuk teknologi dan untuk penurunan tingkat pertumbuhan penduduk”. Untuk itu, perlu dikembangkan investasi penjaminan kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Investasi sumber daya manusia penting untuk kelangsungan proses industrialisasi dalam rangka menjaga konsistensi ekonomi agar tetap ada pada jalur yang sehat. Jika pun terjadi krisis ekonomi atau krisis moneter, semuanya akan dapat diantisipasi dengan kesiapan kualitas SDM yang mapan.

Tantangan Perubahan
Investasi SDM akan tersedia dengan kuantitas yang seimbang dengan kualitas jika ditempuh dengan program penyelenggaraan pendidikan yang berkesinambungan. Artinya ada link yang sepadan antara kebutuhan SDM berkualitas dengan program pendidikan yang terselenggara. Sehingga, pandangan tentang pentingnya SDM sepadan dengan pandangan kepentingan ekonomi. Fenomena SDM dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai fenomena budaya, namun kesemuanya menjadi satu pemikiran yang utuh.
Dalam berita yang dilansir Kompas edisi 16 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Pidato Kenegaraan mengenai nota keuangan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia telah berhasil menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen selama 7 triwulan berturut-turut. Bahkan, pada semester I tahun 2008 pemerintah menyatakan berhasil menjaga momentum perekonomian dengan tingkat pertumbuhan mencapai 6,4 persen. Angka ini diklaim sebagai laju pertumbuhan tertinggi setelah krisis ekonomi tahun 1998 yang lalu. Jika klaim yang dikemukakan pemerintah ini benar, maka sudah suharusnya diimbangi dengan kualitas tenaga kerja yang tinggi. Jika tidak, maka harus ada masalah yang dipertanyakan karenanya. Setidaknya harus ditemukan faktor kesenjangan yang menjadi penyebabnya.
Secara teoretis, perencanaan tenaga kerja dihadapkan dengan perkiraan-perkiraan keseimbangan antara pertumbuhan penduduk yang ingin memasuki sekolah dengan kesempatan kerja yang tersedia. Selain dari itu, dihadapkan pula pada perkiraan keseimbangan antara jenis pendidikan dengan jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan yang mungkin dicapai.
Setiap perencana tenaga kerja mengharapkan keseimbangan tadi, tetapi pada kenyataannya menghadapi kesulitan yang cukup berarti. Justru yang muncul adalah ketidakseimbangan, antara lain animo penduduk menyekolahkan anak-anaknya lebih besar dari pada daya tampung yang tersedia, sehingga tamatan pendidikan yang memasuki lapangan kerja lebih besar dari pada lapangan kerjanya sendiri. Jika situasinya sudah terdesak pada bagian seperti ini, maka yang kita tunggu adalah kesimpangsiuran dalam segala hal. Beberapa orang memanfaatkan situasi ini untuk memainkan peran ketidakjujuran, mengorbankan harga diri, demi mencapai sebuah kedudukan. Ekses-ekses negatif ini muncul seiring dengan makin bertambahnya tingkat pengangguran.
Fenomena demikian telah menuntut adanya perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan kini harus diposisikan sebagai suatu industri, artinya kegiatan pendidikan dapat menghasilkan sejenis jasa produktif. Di tingkat pendidikan menengah, upaya-upaya produktivitas ditunjukkan dengan program pendidikan yang mengarah ke jasa produksi. Misalnya di SMK Teknologi Informatika, dikembangkan keterampilan penyedia jasa informasi komputer dan internet, menerima layanan wartel atau warnet, menerima layanan video-shooting sekaligus pengolahannya, yang kesemuanya ditawarkan kepada masyarakat pengguna jasa. Pada titik ini, dapat dilihat bahwa pendidikan tidak hanya berperan memberikan pembelajaran, akan tetap juga sebagai penyedia nilai tambah, menampung kesempatan kerja, dan sekaligus mampu mendatangkan devisa.
Pendidikan sebagai agen jasa produksi – dengan tidak menyalahartikan fungsi pendidikan itu sendiri –, menjadi hal yang menarik. Ada gambaran bahwa para praktisi pendidikan berhasil mengembangkan inovasi yang merambah bukan saja ke masalah intern pembelajaran, tetapi lebih ke arah bagaimana pendidikan menghasilkan suatu produk yang bernilai ekonomis.
Contoh di atas setidaknya menjadi ilustrasi mengenai urgensi pendidikan bagi kelangsungan hidup, dan sekaligus sebagai tolok ukur kepercayaan masyarakat dan stakeholders terhadap pendidikan. Dalam hal ini kita dapat mengukur nilai ekonomi pendidikan, baik bagi kepentingan masyarakat secara umum, maupun bagi kepentingan individu itu sendiri. Dengan demikian, penyedia lapangan kerja tidak ragu menyediakan lahan kerja bagi SDM yang berkualitas berdasarkan pendidikan yang ditempuhnya.

Alokasi Tenaga Kerja
Tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) dan berpotensi dalam memproduksi barang dan jasa. Batasan itu kemudian menjadi indikator bagi lembaga perencana ketenagakerjaan baik di tingkat nasional maupun daerah, sekaligus untuk mengetahui berapa banyak usia kerja yang berpotensi memproduksi barang dan jasa.
Penghitungan jumlah tenaga kerja dapat dilakukan dengan menjumlahkan seluruh penduduk usia kerja dalam suatu negara. Sedangkan persentase tenaga kerja dalam satu negara dapat dihitung dengan membandingkan antara jumlah penduduk usia kerja dengan total jumlah penduduk. Semakin besar jumlah tenaga kerja, maka semakin besar jumlah penawaran tenaga kerja. Jika tidak diimbangi dengan penawaran dengan kuantitas yang cukup, maka akan terjadi pengangguran.
Ketersediaan tenaga kerja yang ada bisa ditawarkan kepada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja, seperti sektor pertambangan, keuangan, dan sektor konstruksi. Beberapa Perguruan Tinggi membuka fakultas dan jurusan yang sesuai dengan kebutuhan daya serap sektor-sektor ini, bahkan pengadaannya sudah dimulai dari tingkah sekolah menengah. Sekitar tahun 1970-an, sektor-sektor ini menjadi ajang penawaran yang menarik bagi alokasi tenaga kerja.
Berikut adalah tabel di mana sektor-sektor pekerjaan di Indonesia menunjukkan persentase peminatnya masing-masing.
Lapangan Usaha Penduduk %
Pertanian 2,95
Pertambangan dan Penggalian 0,18
Industri Pengolahan 1,56
Listrik dan Air Minum 0,30
Bangunan/Konstruksi 1,17
Perdagangan, Hotel dan Restoran 30,60
Pengangkutan dan Komunikasi 1,55
Keuangan, Persewaan dan Jasa-Jasa Perusahaan 2,46
Jasa-Jasa ( Pemerintah dan Swasta ) 59,23
Jumlah 100
Sumber : Web Delivery
Persentase yang terungkap pada pada tabel di atas menunjukkan pangsa pasar yang ditawarkan, bahwa setiap sektor membutuhkan tenaga kerja dengan jumlah yang berbeda satu sama lain. Ini sama sekali belum mengindikasikan minat tenaga kerja pada sektor tertentu. Bahkan mungkin persentase yang ditunjukkan itu tidak didasarkan atas kebutuhan tenaga kerja, namun justru karena lahan pekerjaannya yang terbatas.
Pada sektor perdagangan, seperti juga pada sektor pertanian, dan jasa-jaa lainnya, sebagian tenaga kerja terserap ke dalam kegiatan informal, baik sebagai keluarga maupun berdiri sendiri. Artinya mereka mendirikan usaha dengan modal sendiri. Ini merupakan alternatif ketika sektor formal, seperti perbankan misalnya, peluangnya semakin kecil. Jika peluang semakin kecil, maka persaingan relatif lebih berat. Pada tabel di atas bisa dikaji, sektor mana saja yang menyiratkan ketatnya persaingan.
Tenaga kerja informal, selain yang membangun usaha sendiri, seperti dagang, pertanian, dan sebagainya, adalah tenaga kerja keluarga yang bekerja sendiri atau membantu keluarga. Tenaga kerja pembantu rumah tangga makin meningkat dari tahun ke tahun, dan pada umumnya mereka adalah orang-orang yang kurang terampil.
Bagaimanapun bentuknya, pekerjaan yang dilaksanakan pada intinya adalah untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, pribadi maupun keluarga. Kompensasi yang diterima dari sektor pekerjaan formal adalah kompensasi uang, namun banyak tenaga kerja keluarga yang menerima kompensasi non-uang.
Jangan lupa, bahwa di sekitar kita terdapat sejumlah pengangguran. Mereka adalah tenaga kerja yang tidak beruntung mendapat pekerjaan pada sektor manapun. Di antaranya merupakan korban PHK dari salah satu sektor yang sebelumnya menampung dirinya menjadi karyawan. Sebagian lainnya merupakan lulusan lembaga pendidikan yang tidak sesuai dengan lahan pekerjaan yang ada. Atau, sebagian merupakan tenaga kerja potensial namun tidak ada permintaan dari sektor manapun.

Penutup
Dari uraian di atas, tampak dengan jelas masalah besar yang dihadapi bangsa dan negara. Kesempatan kerja belum dapat mengimbangi lulusan lembaga pendidikan, dan terlihat kecenderungan pengangguran dengan pendidikan yang lebih tinggi meningkat. Masalah pengangguran terbuka dan pengangguran tertutup cenderung meningkat. Hal ini akan mempunyai implikasi yang perlu diantisipasi dan diatasi secara bersama, baik oleh pemerintah, swasta dan seluruh anggota masyarakat.
Perencanaan SDM harus lebih mengarah ke upaya antisipasi keseimbangan antara tenaga kerja dan lahan pekerjaan. Dalam hal ini, sektor-sektor swasta perlu mendapat prioritas untuk dapat menampung tenaga kerja. Artinya, perlu dilakukan pendidikan dan latihan untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil membuka usaha informal.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Keterampilan akan eksis sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi individu manakala individu itu mampu mengoptimalkan potensinya melalui kepribadian dan kecerdasan yang dimilikinya. Hidup bukan hanya sekedar menerima dan menjalani nasib, akan tetapi bagaimana kita menyikapi dan mengendalikan nasib.
Akhirnya, komitmen menjadi semacam ultimatum untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita mahamulia ini.
Semoga!

Daftar Rujukan
Blaug, B. 1973, Education and Employment Problem in Developing Countries, International Labour Office.

Foster, R.P. 1988. “Work Force Diversity and Business”. Training and Development Journal. April: 39.

H.A. Yunus (2009) Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Majalengka : UNIGAL.

Nunung Sanuhri & Tubagus Hisni (1999) Manajemen Sumber Daya Manusia. Yakarta : Program Pasca Sarjana sekolah Tinggi Manajemen “Imni”.

Simamora, H. 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi I. Yogyakarta.

Sjafri Mangkuprawira dan Aida Vitayala Hubeis (2007) Manajemen Mutu SDM, Jakarta : PT Ghalia Indonesia.
Undang-undang republik indonesia nomor 43 tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 8 tahun 1974 Tentang pokok-pokok kepegawaian.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More